PEMANFAATAN TEKNOLOGI SATELIT
Potensi sumberdaya hayati laut di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Belum maksimalnya pemanfaatan sumberdaya hayati(perikanan) tersebut selain disebabkan terbatasnya alat penangkapan ikan yang dimiliki para nelayan Indonesia juga disebabkan masih rendahnya teknologi informasi yang dapat memberikan gambaran yang lebih akurat terhadap lokasi penangkapan ikan (fishing ground). Untuk itu, pengembangan teknologi yang akan membantu usaha penangkapan ikan perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Salah satu pengembangan teknologi tersebut adalah teknologi penginderaan jauh.
Teknologi penginderaan jauh dengan satelit dapat mendeteksi perairan Indonesia yang luas, salah satunya dengan menggunakan satelit lingkungan dan cuaca NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). Satelit ini dilengkapi dengan sensor AVHRR(Advanced Very High Resolution Radiometer) yang dapat mendeteksi suhu permukaan laut dengan menggunakan kanal infra merah jauh. Beberapa sensor satelit yang biasanya digunakan untuk aplikasi kelautan; sensor SeaWifs (ocean color sea-viewing Wide Field-of View), OCTS (Ocean Color Temperatur Scanner), muliti spectral MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), dan sensor altimeter TOPEX (Topography Experiment). Data yang dapat diperoleh dari sensor-sensor ini diantaranya temperatur permukaan laut (Sea Surface Temperature), konsentrasi klorofil, kandungan uap air, angin permukaan laut dan arus. Dari data sensor satelit yang diproses dapat diinterpretasikan fonomena laut yang dihubungkan dengan potensi keberadaan ikan seperti proses upwelling -- peristiwa naiknya massa air ke atas, dicirikan dengan menurunnya suhu, dan meningkatnya nilai salinitas di daerah tersebut dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal ini, diikuti dengan meningkatnya kandungan zat hara dan penurunan konsentrasi oksigen terlarut. Jika massa air yang kaya zat hara ini berhasil mencapai lapisan eufotik maka zat hara yang melimpah akan ‘merangsang’ perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang selanjutnya akan meningkatkan kesuburan perairan dan pada akhirnya akan meningkatkan populasi ikan di perairan tersebut(Wyrtki, 1961 dan Ilahude, 1970). – dan pembentukan daerah front -- bertemunya dua massa air yang berbeda. Menurut Pond and Pickard (1983), 90% dari produksi perikanan dunia terdapat pada daerah-daerah demikian, walaupun daerah-daerah tersebut umumnya hanya mencakup 2-3% dari seluruh muka laut.
Kawasan Indonesia merupakan daerah tempat bertiupnya angin muson (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah. Arus permukaan di perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin ini, sehingga pola arus yang terbentuk sangat ditentukan oleh musim yang sedang berlangsung. Pada bulan Juni hingga Agustus (musim timur) bertiup angin timur dengan arah arus permukaan bergerak dari timur ke barat, sedangkan pada bulan Desember hingga Februari (musim barat) bertiup angin barat dengan arah arus permukaan bergerak dari arah barat ke timur. Pada bulan Maret ke Mei serta September ke Nopember berlangsung musim pancaroba (peralihan), dimana pada musim ini gerakan arus permukaan tidak teratur (Wyrtki, 1961).
Pengetahuan tentang Arus Lintas Indonesia tidak hanya krusial dalam keseimbangan bahang dan nilai salinitas di Samudera India tetapi juga memainkan satu peranan penting dalam sirkulasi global dari massa air di lapisan termoklin. Hal ini menarik perhatian para peneliti untuk melakukan penelitian yang berkesinambungan (Piola and Gordon 1985; Gordon 1986; Broecker 1991).
Organisme di laut seperti ikan sangat peka terhadap perubahan beberapa parameter oseanografi. Ikan akan berusaha mencari daerah dengan kondisi oseanografi yang sesuai untuk perkembangannya, disamping faktor ketersediaan makanan berupa plankton (Laevastu and Hela, 1981). Di antara parameter oseanografi, suhu dan salinitas adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan proses kehidupan dan penyebaran organisme di laut. Dengan mengetahui suhu optimum ikan dan salinitasnya, maka keberadaan kelompok-kelompok ikan jenis tertentu dapat dideteksi. Untuk mempelajari hubungan antara tingkah laku ikan dengan kondisi oseanografi perlu data yang berkesinambungan, namun disadari penyediaan data oseanografi melalui pengukuran langsung memerlukan biaya yang relatih besar. Alternatif yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk penyediaan data tersebut.
Rujukan:
Broecker, W. S. 1991 : The Great Conveyor Belt. Oceanogr., 4, 79 – 89. [1.2,2.1,4.7
Gordon, A.L. 1986. Interocean Exchange of Thermocline Water. J. Phys. Oceanogr., 91, 5037-5046.
Ilahude, A. G. 1970. On the Occurance of Upwelling in Southern Macassar Strait. Marine Research in Indonesia. No 10: 3-23
Laevastu, T and I. Hela. 1981. Fisheries Oceanography. Fishing News (book). Oxford
Piola, A., and A. L. Gordon, 1986. On Oceanic Heat and Freshwater Fluxes 30°S. J. Phys. Oceanogr., 16, 2184 – 2190 [4.7].
Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar