Jumat, 15 Agustus 2008

KELAUTAN, PERIKANAN DAN KEBANGKITAN INDONESIA

Tulisan yang dimuat dalam PricewaterhouseCoopers dengan judul “The World in 2050 How big will the major emerging market economies get and how can the OECD compete?” sangatlah menarik untuk disimak. Dalam tulisan tersebut Indonesia diprediksi akan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan pada tahun 2050. Prediksi tingkat pertumbuhan ekonomi ini mirip dengan apa yang ditulis “The Global Economy” (The Economist, 1/10/1994) yang menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima terbesar di dunia pada tahun 2020.

Laporan dalam PricewaterhouseCoopers menjelaskan, jika Gross National Product(GNP) Amerika Serikat dianggap sebagai 100%, pada 2005, akan didapatkan urutan sepuluh besar sebagai berikut: AS(100%), China(76%), Japan(32%), India(30%), Jerman(20%), Inggris(16%), Perancis(15%), Italia(14%), Brazil(13%), Rusia(12%), dan Indonesia ada diurutan ke-12 (7%). Kesemua itu dihitung dengan menggunakan pedoman Purchasing Power Parity (PPP). Pada 2050 urutan tersebut akan berubah. Diperkirakan China akan menjadi(143%), AS dan India(100%), Brasil(25%), Jepang(23%), dan Indonesia ada diurutan ke-5 (19%). Menarik bahwa Indonesia meningkat dari urutan ke-12 tahun 2005 menjadi urutan ke-5 pada tahun 2050.

Prediksi dalam laporan PricewaterhouseCoopers sangat memberikan harapan bagi bangsa Indonesia yang akan menjadi kekuatan ekonomi kelas menengah setelah China, India, As, Brasil, dan Jepang. Pertanyaannya, dari sumberdaya kelautan dan perikanan apa yang dapat dikontribusikan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan tersebut?
Jika dilihat pontensi sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia sangatlah besar dan beragam, dengan luas wilayah laut secara kualitatif lebih luas dbandingkan luas daratan. Berdasarkan Pasal 2 UU No 9 tahun 1985 tentang Perikanan, perairan Indonesia terdiri dari perairan laut, sungai, waduk dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia serta zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jika dirincin secara makro, besarnya potensi tersebut meliputi;

(1)Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) didalamnya termasuk sumberdaya perikanan, mangrove, lamun, terumbu karang, dan sumberdaya biologi lainnya,
(2)Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui(non renewable resources), seperti barang tambang dilautan
(3)Sumberdaya energi laut, terutama energi angin, arus dan pasang surut,
(4)Sumberdaya lain diluar ketiga diatas yang dikenal dengan istilah environment services, diantaranya parawisata, tranportasi, dan pengatur iklim/cuaca.

Besarnya potensi tersebut seharusnya dapat mendukung pembangunan nasional, terutama dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan terpeliharanya daya dukung lingkungan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.
Pentingnya pembangunan kelautan dan perikanan yang terpadu dan berkesinambungan semakin diperlukan, dengan melihat keberhasilan beberapa negara dalam pembangunan keluatan dan perikanan. Menurut Tambulon, H (2005), perikanan Korea Selatan memiliki panjang pantai 2.713 km, kontribusi terhadap GDP 37% senilai 147 miliar dolar pada tahun 1992. Jepang memiliki panjang pantai 34.386, kontribusi terhadap GDP 54% senilai 21.400 miliar dolar AS. RRC memiliki panjang pantai 32.000 km, kontribusi terhadap GDP 48,4% senilai 17.350 miliar dolar AS pada tahun 1999. Negara RRC ini memiliki luas perairan 503 ribu km persegi, memproduksi perikanan senilai 34 miliar dolar AS atau 41 juta ton/tahun, terdiri 15 juta ton penangkapan ikan, 11 juta ton budidaya laut, dan 15 juta ton budidaya ikan tawar.

Islandia memiliki nilai ekspor perikanan 4,2 miliar dolar AS dan GNP/kapita 26.000 dolar AS/tahun, selain itu memiliki nilai ekspor produk barang dan jasa 70% berasal dari perikanan, yang memberikan kontribusi terhadap GDP 65%. Norwegia dengan GNP/kapita 30.000 dolar AS/tahun dengan kontribusi Dri perikanan terhadap GDP mencapai 25%. Khusus ikan salmon, Norwegia mencatat nilai ekspor 2 miliar dolar AS/tahun.

Philipina memiliki pulau 7.200 buah pada tahun 1998 mencatat nilai ekspor rumput laut sebesar 700 juta dolar AS sedangkan dalam waktu yang sama Indonesia hanya menghasilkan devisa 45 juta dolar AS, padahal 60% bahan bakunya diimpor dari Indonesia. Indonesia sendiri memiliki panjang pantai 81.000 km, pada tahun 1999 hanya memberikan kontribusi terhadap GDP 20% senilai 28 miliar dolar AS.

Menurut Tampubolon, H(2005) prediksi volume ekspor perikanan budidaya dari tahun 2005sampai tahun 2009, naik rata-rata 16,23% pertahun, dari 402.831 ton menjadi 741.976 ton. Secara nilai ekonomi naik rata-rata 16,50% pertahun, dari 1,609 miliar dolar AS pada tahun 2005 menjadi 2,937 miliar dolar AS pada tahun 2009. Prediksi penyerapan tenaga kerja dari tahun 2005 sampai tahun 2009, naik rata-rata 17,73% pertahun, dari 3.375.900 orang menjadi 6.484.350 orang.

Prediksi dari Sasaran Pembangunan Kelautan dan Perikanan pada 2006 sampai tahun 2009 produksi perikanan 7,7 juta ton, terdiri perikanan tangkap 5,1 juta ton dan budidaya 2,6 juta ton meningkat kumulatif sebesar 9,7 juta ton. Dengan nilai ekspor hasil perikanan 5 miliar dolar AS pada tahun 2006 meningkat menjadi 7,9 miliar dolar AS. Konsumsi ikan sebesar 30,65 kg/kapita/tahun meningkat menjadi 32,29 kg/kapita/tahun. Penyediaan kesempatan kerja pada perikanan tangkap 3,7 juta orang dan budidaya 3,9 juta orang meningkat secara kumulatif menyerap tenaga kerja 10,2 juta.

Pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia, didukung pula dengan adanya perubahan lingkungan global, yang ditandai dengan adanya liberalisasi perdagangan internasional. Liberasasi perdangangan memberikan peluang berupa penurunan hambatan tarif dan non tarif serta meningkatkan akses produk-produk dalam negeri ke pasar internasional. Disisi lain, liberalisasi perdangangan menuntut penghapusan dan proteksi sehingga akan meningkatkan pula akses produk luar negeri ke pasar dalam negeri. Konsekunsi dari liberalisasi perdagangan menyebabkan produk-produk yang diperdagangkan harus memenuhi standar atau kreteria tertentu, seperti ISO 9000 tentang isu kualitas, ISO 14000 tentang isu lingkungan, isu responsible fisheries. Indonesia telah menyepakati pula beberapa standar internasional misalnya SPS(Sanitary and Phytosanitary) yang mencakup keamanan panagan(Food Safety Attributes), dan kandungan gizi(Nutrition attributes). Karenanya perlu segara dikembangkan standarisasi produk dan proses di Indonesia, Jika tidak, produk perikanan Indonesia akan mengalami penolakan produk ekspor dengan alasan Non Tarrif Barrier for Trade. Produk-produk yang dihasilkan dengan adanya liberalisasi ini dituntut produk yang berkualitas tinggi dengan jumlah yang memadai serta dengan harga yang bersaing.

Menurut Pigott (1994), produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti produk tersedia secara teratur dan sinambung, produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan produk dapat disediakan secara massal. Indonesia mampu untuk memenuhi kriteria itu, karena ;
(1)Indonesia memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas,
(2)bidang kelautan dan perikanan memiliki daya saing tinggi yang didukung dengan baha baku dan produksi yang dihasilkan,
(3)industri kelautan dan perikanan memiliki hubungan yang kuat dengan industri-industri lain,
(4)sumberdaya di bidang kelautan dan perikanan yang selalu dapat diperbaharui sehingga dapat bertahan dalam jangka panjang asal dikelola dengan baik,
(5)umumnya industri keluatan dan perikanan berbasis sumberdaya lokal yang melimpah dengan harga yang murah dan dapat menghasilkan produk dengan harga yang kompetitif.

Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Melihat potensi yang ada, maka kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan harus dibangun atas dasar keberadaan sumberdaya alamnya yang memang masih tersedia dan belum dimanfaatkan secara optimal. Kebijakan pembangunan Indonesia baru ke depan harus ditopang oleh 4(empat) pilar utama yakni kelautan dan perikanan, kehutanan, pertanian dan pariwisata (Dahuri, R, 2002). Keempat pilar ini selain inputnya lokal dan berlimpah, juga mampu menyerap tenaga kerja yang banyak disamping mampu juga menyaring dan membendung arus urbanisasi tenaga kerja dengan keahlian relatif rendah.

Berdasarkan analisis potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia maka perlu dikembangkan kebijakan, meliputi;
1. Pemanfaatan sumberdaya dan jasa kelautan secara optimal, efisien, dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan adalah pemanfaatan yang dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi dimasa mendatang. Maka pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, dilakukan dengan meningkatkan pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan misalnya dengan mengatur penangkapan ikan agar tidak terjadi over fishing di statu perairan. Untuk jasa kelautan, maka perlu ketersediaan ruang yang sesuai untuk tempat tinggal,pariwisata,dan transportasi.

2. Membangun Sistem Hukum dan Kelembangan yang tangguh. Lemahnya implementasi dan penegakkan hukum(law enforcement) dan kelembagaan di bidang kelautan dan perikanan di Indonesia, menyebabkan rusaknya lingkungan, akibat sanksi hukum bagi perusak lingkungan yang tidak membuat jera pelakunya. dan hilangnya produk kelautan dan perikanan Indonesia yang di jual langsung ke luar negeri tanpa memenuhi aturan yang berlaku.

3. Menerapkan ilmu pengetahuan dan manajemen profesional pada setiap mata rata usaha bidang kelautan dan perikanan.

4. Membangun dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang kondusif. Investasi dibidang kelautan dan perikanan masih sulit dikembangkan disebabkan berbagai peraturan dan kepentingan serta sistem finasial yang tidak mendukung, yang akhirnya akan melemahkan kemampuan nelayan Indonesia. Jadi perlu suatu cara untuk menarik dan mempermudah investasi di bidang kelautan dan perikanan. Disini, partisipasi swasta sangat penting untuk mengembangkan kelautan dan perikanan yang efisien.

5. Meningkatkan perhatian pemerintah masyarakat luas terhadap bidang kelautan dan perikanan. Kurangnya perhatian pemerintah maupun masyarakat terhadap bidang kelautan dan perikanan, karena kurangnya informasi mengenai kelautan dan perikanan. Untuk itu perlu dikembangkan dan diperkuat sistem informasi kelautan dan perikanan dan menanamkan wawasan kelautan pada seluruh masyarakat, dengan harapan adanya kemauan politis dari pemerintah maupun masyarakat untuk memperhatikan bidang kelautan dan perikanan.

Pelaksanaan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan dilakukan dalam suatu sistem berbasis perikanan yang terpadu. Sistem ini terdiri dari subsistem produksi, pengolahan pascapanen, dan pemasaran yang didukung oleh subsistem sarana produksi yang mencakup sarana dan prasarana, finasial, sumberdaya manusia dan IPTEK serta hukam dan kelembangaan. Pengadaan dan penyediaan sarana produksi harus mampu mendukung kebutuhan produksi, kegiatan produksi harus juga memperhatikan kondisi ekosistem perairan dan suberdayanya, serta menghubungkannya dengan kegiatan distribusi dan pemasarannya.

Penutup
Kemampuan untuk melihat dan menganalisis potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki, ditambah kemampuan untuk melihat peluang yang ada dan pengaturan manajemen sumberdaya kelautan dan perikanan yang baik. Perkiraan Indonesia akan bangkit pada tahun 2050 dengan tingkat GNP yang cukup signifikan melalui bidang kelautan dan perikanan, serta didukung bidang-bidang lain seperti pertanian, kehutanan dan pariwisata bukan merupakan mimpi.

Bahan Rujukan
Dahuri, R. 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan dalam Menggapai Cita-cita Luhur : Perikanan sebagai Andalan Nasional. Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia. ISPIKANI. Jakarta.

Hawksworth, John. 2006. The World in 2050 How big will the major emerging market economies get and how can the OECD compete?. PricewaterhouseCoopers.

Pigott, G.M. 1994. Who is the 21st Century Consumer. Infofish International.

Tambulon, H. 2005. Kembalikan Kejayaan Bahari. Jakarta

Tidak ada komentar: